SANGIHE Fokuslinenews - Keberadaan Kecamatan Kepulauan Marore, Kabupaten Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara, hingga saat ini masih mendambakan kemerdekaan sesungguhnya.
Meski sebagai wilayah perbatasan Indonesia-Filipina, kecamatan ini acap kali hanya dijadikan tempat berlabuhnya proyek-proyek asal jadi dan di duga mark up.
Seharusnya pemerintah lebih memprioritaskan lima layanan dasar, agar wilayah ini tidak tertinggal dan menikmati hadirnya kepedulian pemerintah.
Salah satu pulau di Kecamatan Marore yakni pulau Matutuang juga sebagai kampung Matutuang, kondisinya jauh dari kata merdeka, berbagai persoalan yang harus di lalui warga disana seakan penanda betapa sulitnya negara mensejahterakan mereka.
Pulau Matutuang, memiliki populasi dari wilayah Filipina dimana mereka adalah keturunan Suku Sanger atau Sangihe, yang mendiami wilayah selatan Filipina, sebelum Indonesia merdeka aktifitas lintas batas dilakukan secara tradisional dengan sistem barter.
Seiring waktu berjalan, kehidupan warga perbatasan ini bergantung pada aktifitas lintas batas negara, dikarenakan jarak tempuh dari pulau Matutuang ke Ibukota Kabupaten memakan waktu belasan jam, sedangkan ke wilayah Filipina hanya memakan waktu 2 sampai 3 jam.
Tak hanya itu, warga perbatasan ini, menggunakan harap dan hidup pada perdagangan lintas batas negara.
Pada tahun 1974 pemerintah hadir dengan program BCA (Border Crossing Agreement) antara kedua negara, dimana pemerintah memberikan keleluasaan bagi warga perbatasan untuk melakukan kunjungan dari Indonesia ke Filipina dan sebaliknya.
Hadirnya pemerintah dengan regulasi BCA setidaknya memberikan angin segar dan perlindungan terhadap pelintas batas negara.
Hubungan lintas batas terbatas ini, mencakup, kunjungan kerabat, kegiatan siara, kebudayaan dan perdagangan terbatas, dimana nominal per pelintas di batasi hanya 250 dolar Amerika saja.
Sejak tahun 1974, kesepahaman yang tertuang dalam dokumen BCA tersebut, masih bertahan hingga kini, meskipun realitanya sudah tidak relevan dan dianggap merugikan warga perbatasan.
Berbagai upaya untuk mendorong dibuatkan regulasi yang mampu menjawab kebutuhan kekinian terus di suarakan masyarakat maupun pemerintah Kecamatan dan desa di Kecamatan Marore, namun belum ada tanggapan maupun respon.
Akibatnya, di situasi wilayah perbatasan saat ini seakan terpenjara dengan berbagai regulasi dari setiap instansi yang memiliki kewenangan di wilayah perbatasan, membuat masyarakat disana seakan di kerangkeng oleh negara.
Hal yang paling menyedihkan dirasakan warga di perbatasan khususnya di kampung Matutuang adalah, warga disana masih banyak yang belum memiliki kewarganegaraan, sebab mereka merupakan warga keturunan Sangihe di Filipina yang memilih kembali ke Sangihe untuk menjadi penduduk Indonesia.
Namun kendalanya mereka kesulitan memiliki identitas kependudukan akibat mereka lahir dan besar di negara Filipina, padahal mereka tidak mengakui Filipina sebagai negara mereka dan mereka lebih memilih kembali ke pangkuan ibu Pertiwi.
Camat Marore, Markos Sasiang, menutur bahwa kendala mereka dalam mengurus data kependudukan akibat regulasi kependudukan yang mengisyaratkan keterangan lahir untuk pengurusan akte kelahiran, di sementara mereka lahir di Filipina.
"Pulau Matutuang memiliki populasi sebanyak Kepala Keluarga 143 KK (Kepala Keluarga) dan jumlah penduduk 421jiwa, untuk warga
yang belum memiliki dokumen sebanyak 21 orang" kata Sasiang.
Kendala lain adalah ketika mereka menempuh pendidikan harus kandas di tengah jalan, pasalnya mereka tidak memiliki dokumen kependudukan yang menjadi persyaratan di lingkungan pendidikan.
"Hal ini tentunya membuat warga kami disini tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, karena terkendala dokumen kependudukan" jelas Camat Marore.
Ia menuturkan, persoalan yang lain berupa lima layanan dasar belum sepenuhnya dinikmati oleh warganya di perbatasan khususnya pulau Matutuang.
Lima layanan dasar tersebut antara lain 1. layanan Kesehatan (fasilitas kesehatan).
(Ika)
0 comentários:
Posting Komentar